BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Kesehatan
seksual merupakan suatu aspek kesehatan yang berhubungan dengan organ-organ
kelamin dan perilaku seksual. Kesehatan seksual yaitu pencegahan penyakit
menular seksual dan kehamilan yang tidak di inginkan, kenikmatan seks sebagai
bagian dari hubungan intim dan kendali yang lebih besar terhadap keputusan
seksual seseorang.
Seks merupakan
aspek intim yang penting, dalam hubungan saling mencintai antara satu orang
dengan orang lain. Seks merupakan aspek hidup yang pribadi dan tersendiri yang
jarang dibahas dengan orang lain. Perilaku seksual adalah bermacam-macam
dan ditentukan oleh suatu interaksi faktor-faktor yang kompleks. Seksualitas
seseorang adalah terlibat dengan faktor kepribadian yang lain, dengan susunan
biologis dan dengan rasa umum tentang diri sendiri (sense of self). Ini
termasuk persepsi sebagi laki-laki atau wanita, yang mencerminkan perkembangan pengalaman
dengan seks selama siklus kehidupan.
Seksualitas
abnormal yaitu perilaku seksual yang destruktif bagi diri sendiri maupun
oranglain, yang tidak dapat diarahkan kepada seseorang pasangan, yang diluar
stimulasi organ seks primer, dan yang di sertai dengan rasa bersalah dan
kecemasan yang tidak sesuai, atau konfulsif. Bagi kebanyakan orang,
banyak yang tidak peduli tentang apakah perilaku seksual yang normal dan apakah
jenis-jenis dan gangguan seksual. Gangguan seksual merupakan masalah dasar bagi
pria dan wanita yang mengganggu kemampuan mereka untuk menikmati seks.
Penyimpangan
perilaku seksual sering di anggap perbuatan tidak bermoral oleh masyarakat. Ada
penderita yang merasa bersalah atau depresi dengan pemilihan objek atau
aktivitas seksual nya yang tidak normal. Namun banyak pula yang tidak merasa
terganggu dengan penyimpangan tersebut kecuali bila ada reaksi dari masyarakat atau
sanksi dari yang bewenang.
1.2 Rumusan Masalah
Setelah
melihat pernyataan diatas muncul pertanyaan di benak penulis yaitu :
1. Apakah Pengertian Dari Identitas Gender ?
2. Apakah Pengertian Parafilia ?
3. Apakah definisi Disfungsi Seksual ?
4. Bagaimana Terapi pada seksual?
1.3 Tujuan penulisan
Adapun
tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui Pengertian Dari Identitas Gender
2. Untuk mengetahui pengertian Parafilia
3. Untuk mengetahui Definisi Disfungsi Seksual
4. Untuk mengetahui Bagaimana Terapi Seksual
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Identitas
Gender
Identitas Gender (gender identity) adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita. Identitas gender secara normal didasarkan pada anatomi gender. Pada keadaan normal, identitas gender konsisten dengan anatomi gender. Namun, pada gangguan identitas gender (gender identity disorder) terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya.
Gangguan identitas gender dapat berawal sejak masa
kanak-kanak. Diagnosis ini diterapkan pada anak-anak yang secara kuat menolak
sifat anatomi mereka (anak perempuan yang memaksa untuk buang air kecil sambil
berdiri atau bersikeras tidak mau menumbuhkan buah dadanya; anak laki-laki yang
menolak penis dan testis mereka) atau pada mereka yang terfokus pada pakaian
atau aktivitas yang merupakan stereotip dari gender lain.
Diagnosis gangguan identitas gender (dulu disebut transeksualisme) diberikan baik pada
anak-anak atau orang dewasa yang mempersepsikan diri mereka secara psikologis
sebagai anggota dari gender yang berlawanan dan secara terus-menerus
menunjukkan ketidaknyamanan terhadap anatomi gender mereka.
Banyak orang dewasa transeksual melakukan operasi
perubahan gender. Pada operasi ini akan dibentuk alat genetal eksternal yang
semirip mungkin dengan alat genital gender yang diinginkan. Orang yang telah
menjalani operasi ini dapat melakukan aktivitas seksual, bahkan mencapai
orgasme, namun mereka tidak mampu mempunyai atau melahirkan anak karena tidak
memiliki organ reproduksi internal dari gender baru yang dibentuk ini.
Identitas gender berbeda dengan orientasi seksual.
Gay dan lesbian memiliki minat erotis pada anggota gender mereka sendiri,
tetapi identitas gender mereka (perasaan menjadi pria atau wanita) konsisten
dengan anatomi seks mereka.
Tidak seperti orientasi seksual gay atau lesbian,
gangguan identitas gender sangat jarang ditemukan. Orang dengan gangguan
identitas gender yang tertarik secara seksual pada anggota dari anatomi gender
mereka sendiri tidak menganggap diri mereka sebagai gay atau lesbian.
Perspektif Teoretis
Tidak seorang pun mengetahui apa penyebab gangguan
identitas gender (Money, 1994). Teoretikus psikodinamika menunjuk pada
kedekatan hubungan ibu-anak laki-laki yang sangat ekstrem, hubungan yang
renggang antara ibu dan ayah, dan ayah yang tidak ada atau jauh dari anaknya
(Stoller, 1969). Faktor-faktor keluarga ini dapat menjadi penyebab munculnya
identifikasi yang kuat terhadap ibu dari para pria muda, mengakibatkan
pembalikan dari identitas dan peran gender yang diharapkan.
a.
Karakteristik Gangguan Identitas Gender
Orang – orang
yang mengalami gangguan identitasa geder, yang kadang disebut
“transeksualisme”, merasa bahwa jauh didalam dirinya, biasanya sejak awal masa
kanak – kanak, mereka yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya saat ini. Mereka
tidak menyukai pakaian dan aktivitas yang sesuai dengan jenis kelamin mereka.
Ketika gangguan identitas gender
bermula dimasa kanak – kanak, hal itu dihubungkan dengan benyaknya perilaku
lintas-gender, seperti berpakaian seperti lawan jenisnya, lebih suka bermain
dengan teman – teman lawan jenis, dan melakukan permainan yang secara umum
dianggap sebagai permainan lawan jenisnya.
Gangguan identitas gender pada anak
– anak biasanya diamati oleh orang tua ketika sianak berusia antara 2 dan 4
tahun (Green & Blanchhard). Orang yang mengalami GIG sering kali
memunculkan rasa tidak suka dari orang lain dan bahkan sering kali mengalami
diskriminasi dalam pekerjaan ketika memutuskan untuk memakai pakaian lawan
jenis.
Kriteria gangguan identitas gender
dalam DSM-IV-TR:
ü Identifikasi yang kuat dan menetap
terhadap lawan jenis.
Pada anak – anak, terdapat empat
atau lebih ciri – ciri, yaitu:
o
Berualngkali
menyatakan keinginan untuk menjadi atau memaksakan bahwa ia adalah lawan jenis.
o
Lebih
suka memakai pakaian lawan jenis.
o
Lebih
suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau terus menerus berfantasi
menjadi lawan jenis.
o
Lebih
suka melakukan permainan yang merupakan steroetip lawan jenis.
o
Lebih
suka bermain dengan dengan teman – teman dari lawan jenis.
Pada remaja dan orang dewasa, simtom
– simtom seperti keinginan untuk menjadi lawan jenis, berpindah ke kelompok
lawan jenis, ingin diperlakukan sebagi lawan jenis, keyakinan bahwa emosinya
adalah tipikal lawan jenis.
o
Rasa
tidak nyaman yang terus menerus dengan jenis kelamin biologisnya atau rasa
terasing dari peran gender jenis kelamin tersebut.
o
Tidak
sama dengan kondisi fisik antar jenis kelamin.
o
Menyebabkan
distress atau hendaya dalam fungsi sosial dan pekerjaan.
b. Penyebab Gangguan Identitas Gender
ü Faktor biologis, secara spesifik bukti
menunjukkan bahwa identitas gender dipengaruhi oleh hormon.
ü Faktor sosial dan psikologis,
banyak ibu, nini, dan nenek menganggap lucu bila anak laki – laki memakai
pakaian lama dan sepatu hak tinggi milik ibunya, dan sangat sering mereka
mengajari bagaimana caranya merias wajah. Dalam album foto keluarga umumnya
terdapat foto anak laki – laki yang memakai pakaian anak perempuan. Reaksi
semacam itu yang diberikan oleh anggota keluarga terhadap anak yang tidak
normal mungkin berkontribusi besar dalam konflik antara jenis kelamin
anatomisnya dan identitas gender yang dikembangkannya.
c. Terapi Gangguan Identitas Gender
ü Perubahan tubuh.
Orang yang
mengalami GIG yang mengikuti program yang mencakup perubahan tubuh umumnya
diminta untuk menjalani psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan dan hidup sesuai
gender yang diinginkan. Tetapi umumnya tidak hanya memfokuskan pada kecemasan
dan depresi yang mungkin dialami orang yang bersangkutan, namun juga pada
berbagai pilihan yang ada untuk mengubah tubuhnya.
ü Operasi Perubahan Kelamin.
Operasi
perubahan kelamin adalah operasi yang mengubah alat kelamin yang ada agar lebih
sama dengan kelamin lawan jenis. Studi terhadap hasil – hasil terapi yang
pertama kali dilakukan dan paling controversial (Meyer & Reter, 1979) tidak
menemukan manfaat apa pun bagi individu “dalam kaitan dengan rehabilitasi
sosial”.
Program
perubahan kelamin terus berjalan dibanyak seting kedokteran-psikologi. Di
Amerika Serikat diperkirakan setiap tahunnya lebih dari 1000 transeksual
menjalani operasi perubhan kelamin. Banyak transeksual memutuskan untuk tidak
menjalani operasi setelah berakhirnya masa satu tahun yang diharuskan untuk
hidup sebagai lawan jenis karena akhirnya mereka menyadari bahwa ketidakpuasan
yang dirasakan terhadap hidup mereka tidak akan dapat diatasi dengan mengubah
aspek – aspek eksternal jenis kelamin biologis.
ü Perubahan Identitas Gender
Mengubah
identitas gender secar konsisten mengalami kegagalan. Identitas gender
diasumsikan tertanam terlalu dalam untuk diubah. Identitas gender dapat diubah,
namun, berbeda dengan orang lain yang mengalami GIG karena mereka bersedia
berpartisipasi dalam program terapi yang bertujuan mengubah identitas gender.
1.2
Parafilia
Kata parafilia
(paraphilia) diambil dari akar bahasa
Yunani para, yang artinya “pada sisi
lain”, dan philos yang artinya
“mencintai”. Pada parafilia (paraphilias),
orang menunjukkan keterangsangan seksual (mencintai) sebagai respon terhadap
stimulus yang tidak biasa (“pada sisi lain” dari stimulus normal). Parafilia melibatkan
dorongan dan fantasi seksual yang berulang dan kuat, yang bertahan selama 6
bulan atau lebih yang berpusat pada (1) objek bukan manusia seperti pakaian
dalam, sepatu, kulit, atau sutra, (2) perasaan merendahkan atau menyakiti diri
sendiri atau pasangannya, atau (3) anak-anak dan orang lain yang tidak dapat
atau tidak mampu memberikan persetujuan.
Sejumlah penderita parafilia secara relatif tidak
berbahaya dan tidak menyebabkan jatuh korban. Di antaranya terdapat fetishisme
dan fetishisme transvestik. Sedangkan yang lain, seperti ekshibisionisme dan
pedofilia, melibatkan orang lain sebagai korban. Parafilia yang paling
berbahaya adalah sadisme seksual yang dilakukan dengan pasangan tanpa
persetujuannya. Voyeurisme terletak di antaranya, karena “korban” tidak
mengetahui kalo ia sedang diintip.
a. Jenis-jenis dan gangguan parafilia
1. Ekshibisionisme
Ekshibisionisme (exhibitionism) melibatkan dorongan kuat
dan berulang untuk menunjukkan alat genital pada orang tak dikenal yang tidak
menduganya, dengan tujuan agar korban terkejut, syok, atau terangsang secara
seksual. Orang tersebut dapat bermasturbasi sambil membayangkan atau
benar-benar menunjukkan alat genitalnya (hampir semua kasus terjadi pada pria).
Sasaran/korbannya hampir selalu wanita.
Orang yang
didiagnosis mengidap ekshibisionisme biasanya tidak tertarik pada kontak
seksual aktual dengan korban dan karena itu biasanya tidak berbahaya. Namun
begitu korban dapat merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya besar dan dapat
mengalami trauma karena peristiwa itu. Saran yang paling baik untuk korban
adalah untuk tidak menunjukkan reaksi apa pun pada orang yang mengekspos
dirinya dan tetap bersikap biasa saja, jika memungkinkan.
2.
Fetishisme
Kata Prancis
fethice diduga berasal dari bahasa
Portugis feitico, yang berarti suatu
“daya tarik ajaib”. Dalam kasus ini, “ajaib” terletak pada kemampuan objek
untuk merangsang secara seksual. Ciri utama dari fetishisme (fetishism) adalah dorongan seksual yang
kuat dan berulang serta membangkitkan fantasi yang melibatkan objek tidak
hidup, seperti bagian tertentu dari pakaian (bra, celana dalam, stoking, sepatu
boot, sepatu, kulit, sutra, dan sejenisnya). Pria dengan fetishisme lebih
memilih objeknya daripada orang yang memilikinya dan tidak dapat terangsang
tanpa objek tersebut. Mereka sering mengalami kepuasan seksual melalui
masturbasi sambil membelai, menggosok-gosok, atau mencium objek tersebut; atau
dengan melihat pasangan mereka menggunakan itu selama melakukan aktivitas
seksual.
3.
Transvestik
Fetishisme
Ciri utama
dari transvestik fetishisme (transvestic
fetishism) adalah dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi yang
berhubungan yang melibatkan memakai pakaian lawan jenis (cross-dressing) dengan tujuan untuk mendapatkan rangsangan seksual.
Orang dengan fetishisme dapat dipuaskan dengan memegang objek seperti pakaian
dalam wanita sambil bermasturbasi; sedangkan orang dengan transvestik
fetishisme ingin mengenakannya.
4.
Voyeurisme
Ciri utama
dari voyeurisme (voyeurism) adalah
bertindak berdasarkan atau mengalami distres akibat munculnya dorongan seksual
yang kuat dan terus-menerus sehubungan dengan fantasi yang melibatkan
melihat/memperhatikan orang, biasanya orang tak dikenal, yang sedang tidak
berpakaian atau membuka pakaian atau sedang melakukan aktivitas seksual di mana
mereka tidak menduganya. Tujuan melihat, atau “mengintip” adalah untuk mencapai
kepuasan seksual. Orang yang melakukan voyeurisme biasanya tidak menginginkan
aktivitas seksual dengan orang yang diobservasi.
5.
Froterisme
Kata Prancis
frottage mengacu pada teknik artistik
dari membuat gambar dengan cara menggosok pada objek yang timbul. Ciri utama
dari parafilia frotorisme (frotteurism)
adalah adanya dorongan seksual yang kuat secara persisten dan fantasi terkait
yang melibatkan menggosok atau menyentuh tubuh orang tanpa izin. Froterisme
atau “meremas” biasanya terjadi pada tempat-tempat ramai, seperti kereta api
bawah tanah, bus, atau lift. Tindakan menggosok-gosokkan atau menyentuh, bukan
aspek kekerasannya, yang membangkitkan hasrat seksual seorang pria. Ia mungkin
membayangkan dirinya sendiri menikmati hubungan seksual yang eksklusif dan
penuh kasih sayang dengan korban.
6.
Pedofilia
Pedofilia (pedophilia)
diambil dari bahasa Yunani paidos,
berarti “anak”. Ciri utama dari pedofilia adalah dorongan seksual yang kuat dan
berulang serta adanya fantasi terkait yang melibatkan aktivitas seksual dengan
anak-anak yang belum puber (biasanya usia 13 tahun atau lebih muda).
Penganiayaan seksual terhadap anak-anak bisa muncul dan bisa juga tidak. Untuk
mendapatkan diagnosis pedofilia, orang tersebut harus berusia setidaknya 16
tahun, dan setidaknya 5 tahun lebih tua dari pada anak atau anak-anak yang
mereka rasakan ketertarikan secara seksual atau yang menjadi korban. Pada
beberapa kasus pedofilia, seseorang hanya tertarik pada anak-anak. Pada kasus
lain, orang tersebut juga tertarik pada orang dewasa.
Penyebab pedofilia kompleks dan bervariasi. Sejumlah
kasus cocok dengan stereotip orang yang lemah, pemalas, mempunyai hubungan
sosial yang canggung, dan seorang penyendiri yang merasa terancam oleh hubungan
dengan orang dewasa dan berkelok pada anak-anak untuk mendapat kepuasan seksual
karena anak-anak tidak banyak mengkritik dan menuntut (Ames & Houston,
1990). Pada sejumlah kasus lain, bisa jadi pengalaman seksual masa kanak-kanak
dengan anak-anak lain dirasa sangat menyenangkan sehingga pria tersebut, pada
saat dewasa, berkeinginan untuk merasakan kembali kegembiraan masa lalu. Atau
mungkin pada beberapa kasus pedofilia, pria yang teraniaya secara seksual oleh
orang dewasa pada masa kanak-kanaknya sekarang bisa membalikkan situasi sebagai
usaha untuk mendapatkan perasaan berkuasa.
7.
Masokisme
Seksual
Masokisme
seksual (sexual masochism), berasal
dari nama seorang Novelis Austria, Leopold Ritter von Sacher-Masoch
(1836-1895), yang menulis cerita dan novel tentang pria yang mencari kepuasan
seksual dari wanita yang memberikan rasa nyeri/sakit pada dirinya, sering dalam
bentuk flagellation (dipukul atau
dicambuk). Masokisme seksual melibatkan dorongan kuat yang terus-menerus dan fantasi
yang terkait dengan tindakan seksual yang melibatkan perasaan dipermalukan,
diikat, dicambuk, atau dibuat menderita dalam bentuk lainnya. Dorongan itu
dapat berupa tindakan yang menyebabkan atau didasari oleh distres personal.
Ekspresi masokisme yang paling berbahaya adalah hipoksifilia (hypoxyphilia), dimana partisipan merasa
terangsang secara seksual dengan dikurangi konsumsi oksigennya—misalnya dengan
menggunakan jerat, kantung plastik, bahan kimia, atau tekanan pada dada saat
melakukan aktivitas seksual, seperti masturbasi. Pengurangan
oksigen biasanya disertai dengan fantasi sesak napas atau dengan dibuat sesak
napas oleh pasangan. Orang yang melakukan aktivitas ini biasanya
menghentikannya sebelum mereka kehilangan kesadaran, tetapi terkadang kematian
karena kehabisan napas juga terjadi akibat salah perhitungan (Blanchard &
Hucker, 1991).
8.
Sadisme
Seksual
Sadisme
seksual (sexual sadism) dinamai
berdasarkan nama Marquis de Sade, pria Prancis pada abad ke-18 yang terkenal,
yang menulis cerita tentang kenikmatan mencapai kepuasan seksual dengan
memberikan rasa sakit atau rasa malu pada orang lain. Sadisme seksual adalah
sisi kebalikan dari masokisme seksual. Sadisme seksual melibatkan dorongan yang
kuat dan berulang serta fantasi terkait untuk melakukan suatu tindakan di mana
seseorang dapat terangsang secara seksual dengan menyebabkan penderitaan fisik
atau rasa malu kepada orang lain.
Banyak orang
memiliki fantasi sadistik atau masokistik pada saat-saat tertentu atau
melakukan permainan seks yang melibatkan simulasi atau bentuk ringan
sadomasokisme (sadomasochism) dengan
pasangan mereka. Sadomasokisme menggambarkan interaksi seksual yang secara
mutual memuaskan yang melibatkan baik tindakan sadistik dan masokistik.
Parafilia Lainnya
Ada beberapa bentuk lain dari parafilia. Termasuk
diantaranya melakukan panggilan telepon gelap (‘telephone scatologia’), nekrofilia (dorongan seksual atau fantasi
yang melibatkan kontak seksual dengan mayat), partialisme (berfokus hanya pada
satu bagian tubuh), zoofilia (dorongan seksual atau fantasi yang melibatkan
kontak seksual dengan binatang), dan rangsangan seksual yang terkait dengan
kotoran manusia (koprofilia), obat pencahar (klismafilia), dan urein
(urofilia).
Perspektif Teoretis
Para teoretikus psikodinamika melihat banyak parafilia
sebagai pertahanan terhadap kecemasan kastrasi yang tersisa dari periode
Oedipal. Pikiran akan hilangnya penis di dalam vagina secara tidak sadar
disamakan dengan kastrasi. Orang yang memiliki kelainan parafilia kemungkinan
menghindar dari ancaman kecemasan katrasi ini dengan memindahkan rangsangan
seksual pada aktivitas yang lebih aman—sebagai contoh, pakaian dalam, anak-anak,
atau memperhatikan/menonton orang lain.
Para teoretikus belajar menjelaskan parafilia dalam
kaitannya dengan conditioning dan observational learning. Sejumlah objek
atau aktivitas secara tidak sengaja dihubungkan dengan rangsangan seksual.
Objek atau aktivitas tersebut kemudian mendapatkan kapasitas untuk menimbulkan
rangsangan seksual.
Seperti pola lain dalam perilaku abnormal, parafilia
melibatkan faktor biologis, psikologis, dan sosiokultural yang beragam.
b. Penanganan Parafilia
Orang dengan parafilia biasanya tidak mencari
penanganan atas keinginan sendiri. Mereka biasanya menerima penanganan di
penjara setelah mereka divonis melakukan penyerangan seksual. Atau mereka
dirujuk ke sebuah penyedia penanganan oleh pengadilan. Penanganan dapat menjadi
sia-sia jika klien kurang termotivasi untuk mengubah perilaku mereka.
Salah satu teknik behavioral yang digunakan untuk
menangani parafilia adalah aversive
conditioning. Tujuan dari penanganan ini adalah membangkitkan respons
emosional negatif pada stimulus atau fantasi yang tidak tepat. Dalam teknik
ini, stimulus yang membangkitkan rangsangan seksual (misalnya, celana dalam)
dipasangkan berulang kali dengan stimulus aversif (misalnya, kejutan listrik)
dengan harapan agar stimulus tersebut juga akan menjadi stimulus aversif.
Keterbatasan mendasar dari aversive
conditioning adalah hal ini tidak dapat membantu individu untuk mendapatkan
perilaku yang lebih adaptif sebagai ganti dari pola respons maladaptif. Sensitisasi tertutup (covert sensitization) adalah variasi
dari aversive conditioning di mana
pemasangan stimulus aversif dengan perilaku bermasalah terjadi dalam imajinasi.
2.3 Disfungsi
Seksual
Disfungsi seksual (sexual
dysfunctions) meliputi masalah dalam minat, rangsangan, atau respon
seksual. Kasus disfungsi seksual tersebar dalam masyarakat, dialami oleh 43%
wanita dan 31% pria menurut survei nasional AS terbaru, (Laumann, Paik, &
Rosen, 1999). Ada beberapa tipe disfungsi seksual, tetapi semuanya cenderung
memiliki sebuah ciri yang sama, seperti yang dijabarkan dalam tabel dibawah
ini.
TABEL 1.1 Ciri-ciri Umum dari Disfungsi Seksual
|
|
Ciri
|
Deskripsi
|
Takut akan kegagalan
|
Ketakutan yang terkait dengan kegagalan untuk
mencapai atau mempertahankan ereksi atau kegagalan untuk mencapai orgasme.
|
Asumsi peran sebagai penonton dan bukan sebagai
pelaku
|
Memonitor dan mengevaluasi reaksi tubuh saat
melakukan hubungan seks.
|
Kurangnya self-esteem
|
Kurangin memikirkan kegagalan yang dihadapi
untuk memenuhi standar normal.
|
Efek emosional
|
Rasa bersalah, rasa malu, frustasi, depresi,
dan kecemasan.
|
Perilaku menghindar
|
Menghindari kontak seksual karena takut gagal
untuk menampilkan performa yang adekuat; membuat berbagai macam alasan pada
pasangan anda.
|
Sumber: Dari Nevid, Fichner-Rathus, &
Rathus (1995), hlm. 445.
|
Tabel 1.2 menunjukkan angka perkiraan dari
sejumlah tipe utama disfungsi seksual berdasarkan sampel masyarakat Amerika
saat ini.
TABEL 1.2
|
Perkiraan Prevalensi Berbagai Disfungsi Seksual
yang Ada (pesentase dari masalah yang dilaporkan responden)
|
|
Ejakulasi Dini
|
36-38
|
|
Disfungsi ereksi
|
4-9
|
|
Gangguan orgasme pria
|
4-10
|
|
Gangguan orgasme wanita
|
5-10
|
|
Sumber: Diadaptasi dari Spector, L.M., & Carey, M.P. (1990).
Incidence and prevalence of the sexual dysfunctions: A critical review
of the empirical evidence. Archives of Sexual Behavior, 19, 389-408.
|
||
a.
Siklus Respons Seksual
Disfungsi seksual mempengaruhi permulaan atau penyelesaian siklus respons
seksual. Sebagian besar pemahaman kita mengenai siklus respons seksual
didasarkan pada hasil kerja William Masters dan Virginia Johnson yang merupakan
perintis penelitian seks. Berdasarkan hasil kerja mereka dan beberapa orang
lainnya, seperti terapis seks Helen Singer Kaplan, DSM menjabarkan siklus respons seksual dalam empat fase yang
berbeda:
1.
Fase Keinginan. Fase ini melibatkan fantasi seksual dan hasrat
untuk melakukan aktivitas seksual. Timbulnya fantasi dan hasrat seksual adalah
normal; pertanyaannya adalah, “Seberapa besar (atau seberapa kecil) minat
seksual yang dikatakan normal?”.
2.
Fase Perangsangan. Fase ini melibatkan perubahan fisik dan
perasaan nikmat yang muncul saat proses rangsangan seksual. Dalam merespons
stimulasi seksual, detak jantung, pernapasan, dan tekanan darah meningkat.
Perangsangan seksual melibatkan dua refleks seksual yang penting—ereksi pada
pria dan lubrikasi vagina (“basah”) pada wanita. Pada pria, ereksi terjadi
ketika pembuluh darah dalam jaringan yang ada di dalam penis membesar untuk
memungkinkan aliran darah yang meningkat memperbesar jaringan. Pada wanita,
payudara akan membesar, puting susu akan berereksi. Darah memenuhi genital,
menyebabkan klitoris membesar. Vagina melebar dan membesar, dan lubrikasi
muncul karena pembesaran pembuluh darah di vagina mendorong cairan keluar
melalui membran kapiler.
3.
Fase Orgasme. Baik pada pria dan wanita, tegangan seksual
mencapai puncaknya dan dilepaskan melalui kontrajsu ritmik involunter dari otot
pelvis disertai dengan perasaan nikmat. Orgasme seperti ereksi dan lubrikasi,
adalah suatu refleks. Pada pria, kontraksi dari otot pelvis mendorong cairan
mani untuk keluar melalui ujung penis pada saat ejakulasi. Pada wanita, otot
pelvis yang mengelilingi lapisan luar ketiga dari vagina berkontraksi secara
refleks. Pada pria dan wanita, kontraksi pertama adalah yang terkuat dan
berjarak 0,8 detik interval (lima kontraksi dalam 4 detik). Kontraksi
selanjutnya lebih lemah dan terjadi dalam rentang yang lebih lama.
4.
Fase Resolusi. Fase terjadinya relaksasi dan perasaan nyaman.
Pada tahap ini, pria secara fisiologis tidak mampu mencapai ereksi dan orgasme
untuk suatu periode waktu tertentu. Namun, wanita, mungkin mampu untuk
mempertahankan rangsangan seksual pada tingkat yang tinggi jika stimulasi
dilanjutkan, dan mengalami orgasme ganda dalam suatu rangkaian yang cepat.
b.
Jenis-jenis Disfungsi Seksual
DSM-IV mengelompokkan disfungsi seksual dalam kategori
berikut ini: Tiga kategori yang pertama berhubungan dengan tiga fase pertama dari
siklus respons seksual.
1.
Gangguan Hasrat
Seksual
Gangguan hasrat seksual merupakan gangguan dalam nafsu seksual atau suatu
keengganan terhadap aktivitas seksual genital. Orang dengan gangguan hasrat
seksual hipoaktif (hypoactive sexual
desire disorder) tidak atau kurang memiliki minat atau hasrat seksual.
Biasanya terjadi karena kurangnya atau tidak adanya fantasi seksual. Klinisi,
secara individual, harus mempertimbangkan berbagai faktor dalam membuat
diagnosis pada kasus rendahnya hasrat seksual, seperti gaya hidup klien
(sebagai contoh, pada orang tua yang dipenuhi dengan tuntutan anak-anak dan
balita, kurangnya energi seksual atau minat seksual mungkin saja terjadi),
faktor sosiokultural (sebagai contoh, sikap budaya yang tertutup dapat menahan
hasrat atau minat seksual), kualitas hubungan antara klien dan pasangan mereka
(penurunan minat atau aktivitas seksual dapat menunjukkan adanya masalah pada
hubungan yang ada dan bukan hilangnya dorongan seks), dan usia klien (dengan
adanya peningkatan usia, hasrat biasanya menurun tetapi tidak menghilang).
Orang dengan gangguan seksual aversi (sexual
aversion disorder) memiliki keengganan yang kuat pada kontak seksual
genital dan menghindari semua atau hampir semua kontak genital dengan pasangan.
Namun mereka dapat memiliki hasrat dan menikmati kontak yang penuh kasih sayang
atau kontak seksual nongenital
2.
Gangguan Rangsangan
Seksual
Gangguan rangsangan seksual adalah ketidakmampuan untuk mencapai atau
mempertahankan respons fisiologis yang terkait dengan rangsangan
seksual—lubrikasi vagina pada wanita atau ereksi penis pada pria—yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan aktivitas seksual.
Pada wanita, rangsangan seksual ditandai oleh lubrikasi pada dinding
vagina yang memungkinkan masuknya penis. Pada pria, rangsangan seksual ditandai
oleh ereksi. Hampir semua wanita sering memiliki kesulitan untuk menjadi atau
tetap terlubrikasi. Hampir semua pria terkadang memiliki kesulitan untuk
mencapai atau mempertahankan ereksi selama berhubungan. Diagnosis gangguan
rangsangan seksual wanita (female sexual
arousal disorder) dan gangguan ereksi pria (male erectile disorder) (juga disebut impotensi seksual atau disfungsi
ereksi) diberikan bila terdapat masalah yang terus ada dan berulang untuk
dapat terangsang secara genital.
3.
Gangguan Orgasme
Orgasme atau klimaks seksual adalah suatu refleks involunter yang
menghasilkan kontraksi ritmik dari otot pelvis dan biasanya disertai dengan
perasaan nikmat yang kuat. Pada pria, kontraksi ini disertai dengan keluarnya
cairan mani. Ada 3 jenis spesifik dari gangguan orgasme: gangguan orgasme
wanita (female orgasmic disorder),
gangguan orgasme pria (male orgasmic
disorder), dan ejakulasi dini (premature
ejaculation).
4.
Gangguan Nyeri Seksual
Pada dispareunia (dyspareunia),
hubungan seksual dihubungkan dengan rasa sakit/nyeri yang berulang pada daerah
genital. Rasa sakit tersebut tidak dapat dijelaskan dengan penuh secara medis
dan karena itu diyakini memiliki komponen psikologis. Namun, banyak, bahkan
mungkin hampir semua, kasus nyeri saat berhubungan seksual dapat dilacak pada
kondisi medis yang mendasari, seperti kurangnya lubrikasi atau infeksi saluran
urin.
Vaginismus melibatkan kejang involunter pada otot di sekitar vagina
ketika terjadi penetrasi vaginal, sehingga membuat hubungan seksual terasa
menyakitkan atau tidak memungkinkan.
c.
Perspektif Teoretis
Seperti kebanyakan gangguan psikologis, disfungsi seksual merefleksikan
interaksi dari faktor-faktor biologis, psikologis, dan lainnya.
Perspektif Biologis Banyak kasus disfungsi seksual berasal dari faktor
biologis atau dari kombinasi faktor biologis dan psikologis (Carey, Wincze
& Meisler, 1998). Kurangnya produksi testosteron dan aktivitas tiroid yang
berlebihan atau di bawah standar adalah salah satu di antara banyak kondisi
biologis yang dapat menyebabkan hendaya hasrat seksual (Kresin, 1993). Kondisi
medis juga dapat mengganggu keterangsangan seksual pada pria dan wanita.
Faktor biologis dapat memainkan peran yang penting pada kurang lebih 70%
sampai 80% kasus disfungsi ereksi (Brody, 1995b). Faktor biologis lainnya dapat
menggangu hasrat, keterangsangan seksual, dan orgasme meliputi kondisi saraf
yang rusak seperti multiple sclerosis;
gangguan paru-paru; gangguan ginjal; masalah pernapasan, kerusakan yang
disebabkan karena penyakit menular seksual; dan efek samping dari berbagai
obat-obatan (Brondy, 1995b; Segraves, 1998; Spark, 1991).
Perspektif
Psikodinamika Hipotesis psikodinamika secara umum mempertimbangkan dugaan
adanya konflik pada tahap phallic (Fenichel,
1945). Seksualitas genital yang matang dipercaya membutuhkan penyelesaian total
dari Oedipus complex dan Electra complex. Pria dengan disfungsi
seksual diduga secara tidak sadar menderita kecemasan akan kastrasi.
Pada wanita, penis envy yang
tidak terselesaikan menghasilkan rasa permusuhan terhadap pria. Wanita yang
tetap terfiksasi pada tahap phallic,
menghukum pasangannya karena memiliki penis yang tidak membiarkan organ
tersebut untuk memberikan kenikmatan padanya, yang disebut dengan gangguan
rangsangan seksual wanita.
Perspektif Belajar Teoretikus belajar memusatkan perhatian pada peran
kecemasan terkondisi dalam perkembangan disfungsi seksual. Terdapatnya
pengalaman fisik atau psikologis yang menyakitkan yang dihubungkan dengan aktivitas
seksual dapat menyebabkan seseorang merespons hubungan seksual dengan kecemasan
yang cukup kuat yang dapat mencegah kenikmatan dan performa seksual.
Pemenuhan seksual juga didasarkan pada belajar keterampilan seksual.
Keterampilan atau kompetensi seksual, seperti jenis keterampilan lainnya,
didapat melalui kesempatan untuk belajar hal baru. Kita belajar mengenai
bagaimana tubuh kita dan pasangan kita berespons secara seksual dalam berbagai
cara, termasuk coba-coba (trial and error)
dengan pasangan kita, dengan belajar tentang respons seksual kita melalui self-exploration (seperti dalam
masturbasi), dengan membaca tentang teknik seks, dan mungkin dengan berbicara
pada orang lain atau menonton film atau rekaman seks
Perspektif Kognitif Albert Ellis (1977b) menekankan bahwa kepercayaan dan
sikap yang irasional dapat memberikan kontribusi pada disfungsi seksual.
Pertimbangan kepercayaan irasional bahwa setiap saat kita harus mendapat
persetujuan dari setiap orang yang penting bagi kita dan bahwa kita harus benar-benar
kompeten dalam setiap hal yang kita lakukan. Jika kita tidak dapat menerima
kekecewaan orang lain, kita dapat membesar-besarkan signifikansi dari satu
episode frustasi seksual. Jika kita memaksakan bahwa setiap pengalaman seksual
harus sempurna, kita membuat tahapan untuk menjadi gagal secara tak terelakkan.
Sebagian besar pria memberikan respons pada rangsangan seksual dengan
emosi positiff, seperti rasa senang dan hangat. Tetapi bagi pria yang disfungsi
seksual, rangsangan seksual tidak lagi berhubungan dengan emosi positif
(Rowland, Cooper, & Slob, 1996). Psikolog David Barlow (1986) mengatakan
bahwa kecemasan dapat berpengaruh dalam mengurangi atau meningkatkan respons
seksual tergantung pada proses berpikir seseorang (lihar gambar 1.1).
Fungsional
(Putaran Umpan Balik Positif)
|
Disfungsional
(Putaran Umpan Balik Negatif)
|
||
Tuntutan Eksplisit atau Implisit untuk Performa Seksual
(Misalnya: Pasangan Responsif atau Konteks Lainnya) Menghasilkan
Performa Sesuai Harapan Publik (Ereksi)
|
|||
↓
|
↓
|
||
Afek dan Harapan Positif, Respons Ereksi yang Akurat, Persepsi terhadap
Kontrol
|
Afek dan Harapan Negatif, Respons Ereksi yang Tidak Akurat dan Tidak
Penuh, Kurangnya Kontrol yang Dipersepsikan
|
||
↓
|
↓
|
||
Fokus Perhatian pada Tanda-tanda Erotis
|
Fokus Perhatian pada Konsekuensi Publik Jika Tidak Berperforma dengan
baik atau Isu Non-Erotis Lainnya
|
||
↓
|
↓
|
||
Peningkatan Rangsangan Otonomik
|
Peningkatan Rangsangan Otonomik
|
||
↓
|
↓
|
||
Peningkatan Fokus Perhatian pada Tanda-tanda Erotis
|
Peningkatan Fokus Perhatian pada Konsekuensi Tidak Berperforma dengan
Baik (dll.)
|
||
↓
|
↓
|
||
Performa Fungsional
|
Performa Disfungsional
|
||
↓
|
↓
|
||
MENDEKATI
|
MENGHINDAR
|
||
GAMBAR 1.1 Model Barlow tentang Disfungsi Ereksi.
Pada model ini, pengalaman masa lalu dengan disfungsi ereksi menyebabkan
pria menduga bahwa mereka akan gagal lagi. Akibatnya mereka berfokus pada
pengantisipasi rasa malu ketika terlibat dalam hubungan seksual dan bukan
berfokus pada stimulus erotis. Hal ini membuat kecemasan mereka meningkat,
merusak performa mereka dan mengalihkan perhatian mereka dari tanda-tanda
erotis. Pria yang berfungsi dengan baik, sebaliknya, berharap untuk berhasil
dan lebih memfokuskan perhatian mereka pada stimulus erotis, yang meningkatkan
respons seksual mereka. Meskipun mereka juga mengalami kecemasan, hal itu tidak
cukup parah untuk dapat mengalihkan perhatian mereka dari tanda-tanda erotis
atau merusak performa mereka.
Sumber. Barlow D. H. (1986). Causes of sexual dysfunction: The role of
anxiety and cognitive interference. Journal of Consulting and Clinical
Psychology, 54,hal. 146. Copyright@2001 oleh the American Psychiatric
Association.
Berbagai Masalah dalam Hubungan Seperti pepatah mengatakan, “It takes two to tango”. Hubungan seksual
biasanya tidak lebih baik daripada hal-hal lain dalam sebuah hubungan atau
perkawinan (Perlman & Abramson, 1982). Pasangan yang saling membenci dapat
memilih arena seksual untuk berperang. Masalah komunikasi, lebih jauh lagi,
berhubung dengan ketidakpuasan perkawinan. Pasangan yang menemukan kesulitan
untuk mengomunikasikan hasrat seksual mereka akan kehilangan cara dalam
membantu pasangan mereka untuk menjadi pasangan bercinta yang lebih efektif.
Perspektif Sosiokultural Di sekitar pergantian abad ke-20, seorang wanita
Inggris mengatakan akan “menutup mata dan memikirkan negaranya” ketika suaminya
mendekatinya untuk berhubungan seksual. Stereotip zaman dulu ini menyiratkan
bahwa kepuasan seksual dianggap secara eksklusif hanya milik pria—bahwa seks,
untuk wanita, hanyalah kewajiban. Wanita yang memiliki sikap stereotip seperti
itu terhadap seksualitas wanita cenderung tidak menyadari potensi seksual
mereka. Sebagai tambahan, kecemasan seksual dapat merubah pikiran negatif
menjadi self-fulfulling prophecies.
Disfungsi seksual pada pria juga, dapat dihubungkan dengan kepercayaan
sosiokultural yang sangat terbatas dan hal-hal tabu yang terkait dengan seks.
Teoretikus psikodinamika modern menyadari bahwa kemarahan dan
perasaan-perasaan negatif lainnya yang dimiliki wanita terhadap pria dapat
menyebabkan disfungsi seksual. Namun, mereka juga percaya bahwa emosi negatif
ini berakar dari faktor-faktor sosiokultural dan bukan penis envy.
Faktor Psikologis Berbagai faktor psikologis seperti depresi, kecemasan,
rasa bersalah, dan rendahnya self-esteem
dapat mengganggu hasrat atau performa seksual. Satu penyebab yang penting
adalah kecemasan akan performa (performance
anxiety), suatu jenis kecemasan yang melibatkan perhatian yang berlebihan
tentang apakah kita akan mampu untuk memberikan performa yang baik.
Dengan fokus yang berlebihan pada mempertahankan self-esteem setiap saat akan bercinta, tidak heran jika kecemasan
akan kualitas performanya—kecemasan akan performa—meningkat sampai pada titik
yang dapat menghambat ereksi. Refleks ereksi dikontrol oleh cabang parasimpatis
dari sitem saraf otonom. Aktivasi dari sistem saraf simpatis, yang terjadi
ketika kita cemas, dapat menghambat kontrol parasimpatis dan mencegah refleks
untuk ereksi. Ejakulasi, sebaliknya, berada di bawah kontrol sistem saraf
simpatis, sehingga peningkatan rangsangan, seperti dalam kasus kecemasan akan
performa, dapat memicu ejakulasi dini.
Wanita juga dapat menyamakan self-esteem
mereka dengan kemampuan untuk mencapai orgasme yang sering dan intensif.
Akan tetapi, ketika pria dan wanita berusaha keras untuk memperoleh rangsangan
atau lubrikasi, atau memaksakan orgasme, mereka akan menemukan bahwa semakin
keras mereka berusaha, semakin sulit untuk mencapai respons ini.
2.4 Terapi Seks
Bentuk terapi psikoanalisis
menggunakan pendekatan tidak langsung terhadap disfungsi seksual. Diasumsikan
bahwa disfungsi seksual mencerminkan konflik yang mendasari, dan disfungsi
dapat teratasi jika konflik yang mendasari—perkiraan penyebab dari
disfungsi—dipecahkan melalui psikoanalisis. Kurangnya bukti bahwa pendekatan
psikoanalisi dapat mengatasi disfungsi seksual menyebabkan pada klinisi dan
peneliti mengembangkan pendekatan lain yang lebih memfokuskan secara langsung
pada masalah seksual itu sendiri.
Terapis seks kontemporer
mengasumsikan bahwa disfungsi seksual dapat ditangani dengan secara langsung
memodifikasi interaksi seksual pasangan dan pola-pola komunikasi.
Gangguan Hasrat Seksual
Terapi seks mencoba membantu seseorang dengan hasrat seksual yang rendah untuk
membangkitkan minat seksualnya melalui penggunaan latihan self-stimulation (masturbasi) bersamaan dengan fantasi erotik.
Ketika kurangnya hasrat seksual dihubungkan dengan depresi, penanganan dapat
difokuskan pada mengatasi depresi yang mendasarinya dengan harapan bahwa minat
seksual dapat kembali ketika tekanan itu hilang. Ketika masalah rendahnya
hasrat seksual atau aversi seksual muncul dan mengakar pada penyebab yang
mendalam, terapis seks Helen Singer Kaplan (1987) merekomendasikan penggunaan
pendekatan insight-oriented untuk
membantu mengungkapkan dan menyelaraskan isu yang mendasari.
Gangguan Rangsangan
Wanita yang memiliki kesulitan untuk terangsang secara seksual dan pria dengan
masalah ereksi, pertama-tama diberi pendidikan mengenaik fakta bahwa mereka
tidak harus “melakukan” sesuatu untuk menjadi terangsang. Sejauh masalah mereka
bersifat psikologis, bukan organis, mereka hanya perlu mengalami stimulasi
seksual dalam kondisi rileks, dan tidak tertekan, sehingga kognisi-kognisi yang
mengganggu dan kecemasan tidak menghambat respons refleksif.
Terapis seks William Masters
dan Virginia Johnson meminta pasangan mengatasi kecemasan akan performa dengan
melakukan latihan berfokus pada sensasi (sensate
focus exercises), yaitu kontak seksual yang tanpa tuntutan—latihan berkala
yang tidak menuntut munculnya rangsangan seksual dalam bentuk lubrikasi vagina
atau ereksi.
Gangguan Orgasme Wanita
dengan gangguan orgasme sering memiliki kepercayaan yang medasar bahwa seks
adalah suatu hal yang kotor atau penuh dosa. Mereka mungkin diajari untuk tidak
menyentuh diri mereka sendiri. Mereka sering kali cemas tentang seks dan belum
pernah mempelajari, melalui proses coba-coba, jenis stimulasi seksual apa yang
dapat merangsang mereka dan membantu mereka mencapai orgasme. Penanganan pada
kasus semacam ini meliputi modifikasi dari sikap negatif terhadap seks. Ketika
gangguan orgasme merefleksikan perasaan atau hubungan wanita dengan
pasangannya, penanganan perlu dilakukan untuk mengatasi perasaan ini atau
memperbaiki hubungan.
Pendekatan yang paling
banyak digunakan untuk menangani ejakulasi dini, disebut dengan teknik stop-start atau stop-and-go, diperkenalkan pada tahun 1956 oleg urolog James
Semans. Pria dan pasangannya menunda aktivitas seksual di saat ia hampir
berejakulasi dan kemudian memulai kembali stimulasi ketika sensasinya
berkurang. Latihan yang berulang memungkinkan dirinya untuk mengatur ejakulasi
dengan membuat ia sensitif terhadap petunjuk yang mendahului refleks
ejakulasinya (membuat ia lebih sadar akan “point
of no return”, titik di mana refleks ejakulasi dipicu).
Vaginismus dan Dispareunia
Vaginismus adalah refleks terkondisi yang menyebabkan penyempitan tak sadar
pada bagian mulut vagina. Hal itu dikarenakan ketakutan secara psikologis akan
terjadinya penetrasi, dan bukan suatu kerusakan atau gangguan fisik (LoPiccolo
& Strock, 1986). Penanganan untuk vaginismus meliputi kombinasi teknik
relaksasi dan penggunaan pembesar vagina untuk secara bertahap mendesensitisasi
otot vagina.
Evaluasi terhadap Terapi
Seks Angka keberhasilan untuk terapi seks lebih baik pada beberapa gangguan
dibanding pada gangguan lain. Tingkat kesuksesan yang tinggi dilaporkan dalam
penanganan vaginismus pada wanita dan ejakulasi dini pada pria (J.G. Beck,
1993; O’Donohue, Letourneau, & Geer, 1993). Tingkat kesuksesan yang dilaporkan
dalam menangani vaginismus berkisar antara 80% (Hawton & Catalan, 1990)
sampai 100% (Masters & Johnson, 1970). Angka kesuksesan dalam menangani
ejakulasi dini dengan prosedur stop-start
dilaporkan hingga setinggi 95%, tetapi angka kambuhnya cenderung tinggi juga
(Segraves & Althof, 1998). Angka keberhasilan dalam menangani disfungsi
ereksi dengan teknik terapi seks lebih bervariasi (Rosen, 1996), dan kita masih
kekurangan penelitian yang bersifat metodologis untuk mendukung keefektifan
teknik ini (O’Donohue dkk., 1999). Hasil penanganan untuk gangguan orgasme pria
juga bervariasi dan sering mengecewakan (Dekker, 1993).
2.5
Penanganan Biologis untuk Disfungsi Seksual Pria
Penanganan biologis terhadap
gangguan ereksi meliputi begitu banyak teknik, tetapi sekarang ini lebih
dipusatkan pada penggunaan obat-obatan, baik untuk membangkitkan ereksi atau
menunda ejakulasi. Contoh yang paling dikenal luas adalah Viagra, obat yang dapat memperluas aliran darah di penis, yang
memiliki efek peningkatan aliran darah ke penis yang dapat menyebabkannya
menjadi ereksi (Goldstein dkk., 1998; Kolata, 1998). Diminum sekitar 1 jam
sebelum berhubungan seksual, obat tersebut telah membantu 70% sampai 80% pasien
dengan disfungsi ereksi untuk mencapai ereksi. Viagra adalah obat baru dengan
penjualan tercepat dalam sejarahm segera setelah peluncurannya. Sayangnya,
Viagra telah gagal untuk membantu wanita dengan disfungsi seksual (“Viafra
Fails to Help Women,” 2000).
Penanganan hormon dapat
membatu pria yang tingkat hormon seks prianya rendah secara abnormal tetapi
tidak pada mereka yang tingkat hormonnya berada dalam batas normal (Spark,
1991). Karena dapat memiliki efek samping, seperti kerusakan hati, penanganan
hormon seharusnya tidak dilakukan tanpa ada pengawasan ketat.
Pembedahan
vaskular dapat efektif pada kasus yang jarang, di mana tersumbatnya aliran
darah mencegah darah untuk membesarkan penis atau di mana penis memiliki
kerusakan secara struktural (LoPiccolo & Strock, 1986).
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesehatan seksual yaitu pencegahan penyakit menular
seksual dan kehamilan yang tidak di inginkan, kenikmatan seks. Sebagai bagian
dari hubungan intim dan kendali yang lebih besar terhadap keputusan seksual
seseorang.
Seksualitas abnormal yaitu perilaku seksual yang destruktif bagi diri sendiri maupun oranglain, yang tidak dapat di arahkan kepada seseorang pasangan, yang diluar stimulasi organ seks primer, dan yang di sertai dengan rasa bersalah dan kecemasan yang tidak sesuai, atau konfulsif.
Seksualitas abnormal yaitu perilaku seksual yang destruktif bagi diri sendiri maupun oranglain, yang tidak dapat di arahkan kepada seseorang pasangan, yang diluar stimulasi organ seks primer, dan yang di sertai dengan rasa bersalah dan kecemasan yang tidak sesuai, atau konfulsif.
Parafilia secara harfiah ‘para’ artinya
penyimpangan ‘filia’ artinya objek atau situasi yang disukai. Parafilia adalah
dorongan seksual yang mendalam dan berulang yang menimbulkan fantasi seksual
yang fokuskan pada objek yang bukan pada manusia saja, penderita atau
penghinaan diri sendiri atau partner nya, atau anak-anak atau orang-orang yang
tidak mengizinkan
Jenis-jenis dan gangguan parafilia : Pedofilia,
Exibionisme, Voyeurisme, Sadomasokis, Masokhisme, Fetisisme, Transvestisme, Zofilia,
Froterisme, Homoseksual.
DISFUNGSI SEKSUAL (DSM IV)
a.
Gangguan
keinginan seksual yaitu kurangnya atau tidak adanya keinginan untuk melakukan
hubungan seks
b.
Gangguan hasrat
seksual ditandai oleh defisiensi atau tidak adanya fantasi seksual dan hasrat
untuk aktivitas seksual.
c.
Orgasme terhambat
(Inhibited Orgasm)
d.
Ejakulasi dini
(premature ejaculation)
e.
Dispareunia
(Dyspareunia)
DAFTAR PUSTAKA
Nevid,
Jeffrey S., Rathus, Spencer A., & Greene, Baverly (2003). Psikologi
Abnormal/Edisi Kelima/Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sulistianngsih,
Sulis. Psikologi Abnormal Dan Psikofatologi..
Vina, Ashra dan
Mohanraj, Andrew. 2001. Ketika Tidak Ada Psikiater. London: The
Royal College Psikitrists.
Kaplan, Harold
dan Sadock, Benjamin. 1994. Sinopsis Psikiatri Jilid 2. New York: New York
University Medical Center.
Martaniah, Sri
Mulyani. 2001. Psikologi Abnormal Dan Psikopatologi. Yogyakarta.
Walker,
Kenneth. 2005. The Handbook Sex. Yogyakarta. Diva Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar