gangguan seksual



BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar belakang
Kesehatan seksual merupakan suatu aspek kesehatan yang berhubungan dengan organ-organ kelamin dan perilaku seksual. Kesehatan seksual yaitu pencegahan penyakit menular seksual dan kehamilan yang tidak di inginkan, kenikmatan seks sebagai bagian dari hubungan intim dan kendali yang lebih besar terhadap keputusan seksual seseorang.
Seks merupakan aspek intim yang penting, dalam hubungan saling mencintai antara satu orang dengan orang lain. Seks merupakan aspek hidup yang pribadi dan tersendiri yang jarang dibahas dengan orang lain.  Perilaku seksual adalah bermacam-macam dan ditentukan oleh suatu interaksi faktor-faktor yang kompleks. Seksualitas seseorang adalah terlibat dengan faktor kepribadian yang lain, dengan susunan biologis dan dengan rasa umum tentang diri sendiri (sense of self). Ini termasuk persepsi sebagi laki-laki atau wanita, yang mencerminkan perkembangan pengalaman dengan seks selama siklus kehidupan. 
Seksualitas abnormal yaitu perilaku seksual yang destruktif bagi diri sendiri maupun oranglain, yang tidak dapat diarahkan kepada seseorang pasangan, yang diluar stimulasi organ seks primer, dan yang di sertai dengan rasa bersalah dan kecemasan yang tidak sesuai, atau konfulsif.  Bagi kebanyakan orang, banyak yang tidak peduli tentang apakah perilaku seksual yang normal dan apakah jenis-jenis dan gangguan seksual. Gangguan seksual merupakan masalah dasar bagi pria dan wanita yang mengganggu kemampuan mereka untuk menikmati seks. 
Penyimpangan perilaku seksual sering di anggap perbuatan tidak bermoral oleh masyarakat. Ada penderita yang merasa bersalah atau depresi dengan pemilihan objek atau aktivitas seksual nya yang tidak normal. Namun banyak pula yang tidak merasa terganggu dengan penyimpangan tersebut kecuali bila ada reaksi dari masyarakat atau sanksi dari yang bewenang.


1.2     Rumusan Masalah
Setelah melihat pernyataan diatas muncul pertanyaan di benak penulis yaitu :
1.    Apakah Pengertian Dari Identitas Gender ?
2.    Apakah Pengertian Parafilia ?
3.    Apakah definisi Disfungsi Seksual ?
4.    Bagaimana Terapi pada seksual?

1.3     Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
1.   Untuk mengetahui Pengertian Dari Identitas Gender
2.   Untuk mengetahui pengertian Parafilia
3.   Untuk mengetahui Definisi Disfungsi Seksual
4.   Untuk mengetahui Bagaimana Terapi Seksual


BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Definisi Identitas Gender

Identitas Gender (gender identity) adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita. Identitas gender secara normal didasarkan pada anatomi gender. Pada keadaan normal, identitas gender konsisten dengan anatomi gender. Namun, pada gangguan identitas gender (gender identity disorder) terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya.

Gangguan identitas gender dapat berawal sejak masa kanak-kanak. Diagnosis ini diterapkan pada anak-anak yang secara kuat menolak sifat anatomi mereka (anak perempuan yang memaksa untuk buang air kecil sambil berdiri atau bersikeras tidak mau menumbuhkan buah dadanya; anak laki-laki yang menolak penis dan testis mereka) atau pada mereka yang terfokus pada pakaian atau aktivitas yang merupakan stereotip dari gender lain.
Diagnosis gangguan identitas gender (dulu disebut transeksualisme) diberikan baik pada anak-anak atau orang dewasa yang mempersepsikan diri mereka secara psikologis sebagai anggota dari gender yang berlawanan dan secara terus-menerus menunjukkan ketidaknyamanan terhadap anatomi gender mereka.
Banyak orang dewasa transeksual melakukan operasi perubahan gender. Pada operasi ini akan dibentuk alat genetal eksternal yang semirip mungkin dengan alat genital gender yang diinginkan. Orang yang telah menjalani operasi ini dapat melakukan aktivitas seksual, bahkan mencapai orgasme, namun mereka tidak mampu mempunyai atau melahirkan anak karena tidak memiliki organ reproduksi internal dari gender baru yang dibentuk ini.
Identitas gender berbeda dengan orientasi seksual. Gay dan lesbian memiliki minat erotis pada anggota gender mereka sendiri, tetapi identitas gender mereka (perasaan menjadi pria atau wanita) konsisten dengan anatomi seks mereka.
Tidak seperti orientasi seksual gay atau lesbian, gangguan identitas gender sangat jarang ditemukan. Orang dengan gangguan identitas gender yang tertarik secara seksual pada anggota dari anatomi gender mereka sendiri tidak menganggap diri mereka sebagai gay atau lesbian.
Perspektif Teoretis
Tidak seorang pun mengetahui apa penyebab gangguan identitas gender (Money, 1994). Teoretikus psikodinamika menunjuk pada kedekatan hubungan ibu-anak laki-laki yang sangat ekstrem, hubungan yang renggang antara ibu dan ayah, dan ayah yang tidak ada atau jauh dari anaknya (Stoller, 1969). Faktor-faktor keluarga ini dapat menjadi penyebab munculnya identifikasi yang kuat terhadap ibu dari para pria muda, mengakibatkan pembalikan dari identitas dan peran gender yang diharapkan.
a.    Karakteristik Gangguan Identitas Gender
Orang – orang yang mengalami gangguan identitasa geder, yang kadang disebut “transeksualisme”, merasa bahwa jauh didalam dirinya, biasanya sejak awal masa kanak – kanak, mereka yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya saat ini. Mereka tidak menyukai pakaian dan aktivitas yang sesuai dengan jenis kelamin mereka.
Ketika gangguan identitas gender bermula dimasa kanak – kanak, hal itu dihubungkan dengan benyaknya perilaku lintas-gender, seperti berpakaian seperti lawan jenisnya, lebih suka bermain dengan teman – teman lawan jenis, dan melakukan permainan yang secara umum dianggap sebagai permainan lawan jenisnya.
Gangguan identitas gender pada anak – anak biasanya diamati oleh orang tua ketika sianak berusia antara 2 dan 4 tahun (Green & Blanchhard). Orang yang mengalami GIG sering kali memunculkan rasa tidak suka dari orang lain dan bahkan sering kali mengalami diskriminasi dalam pekerjaan ketika memutuskan untuk memakai pakaian lawan jenis.
Kriteria gangguan identitas gender dalam DSM-IV-TR:
ü Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis.
*   Pada anak – anak, terdapat empat atau lebih ciri – ciri, yaitu:
o  Berualngkali menyatakan keinginan untuk menjadi atau memaksakan bahwa ia adalah lawan jenis.
o  Lebih suka memakai pakaian lawan jenis.
o  Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau terus menerus berfantasi menjadi lawan jenis.
o  Lebih suka melakukan permainan yang merupakan steroetip lawan jenis.
o  Lebih suka bermain dengan dengan teman – teman dari lawan jenis.
*   Pada remaja dan orang dewasa, simtom – simtom seperti keinginan untuk menjadi lawan jenis, berpindah ke kelompok lawan jenis, ingin diperlakukan sebagi lawan jenis, keyakinan bahwa emosinya adalah tipikal lawan jenis.
o  Rasa tidak nyaman yang terus menerus dengan jenis kelamin biologisnya atau rasa terasing dari peran gender jenis kelamin tersebut.
o  Tidak sama dengan kondisi fisik antar jenis kelamin.
o  Menyebabkan distress atau hendaya dalam fungsi sosial dan pekerjaan.

b.    Penyebab Gangguan Identitas Gender
ü Faktor biologis, secara spesifik bukti menunjukkan bahwa identitas gender dipengaruhi oleh hormon.
ü Faktor sosial dan psikologis, banyak ibu, nini, dan nenek menganggap lucu bila anak laki – laki memakai pakaian lama dan sepatu hak tinggi milik ibunya, dan sangat sering mereka mengajari bagaimana caranya merias wajah. Dalam album foto keluarga umumnya terdapat foto anak laki – laki yang memakai pakaian anak perempuan. Reaksi semacam itu yang diberikan oleh anggota keluarga terhadap anak yang tidak normal mungkin berkontribusi besar dalam konflik antara jenis kelamin anatomisnya dan identitas gender yang dikembangkannya.

c.    Terapi Gangguan Identitas Gender
ü Perubahan tubuh.
Orang yang mengalami GIG yang mengikuti program yang mencakup perubahan tubuh umumnya diminta untuk menjalani psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan dan hidup sesuai gender yang diinginkan. Tetapi umumnya tidak hanya memfokuskan pada kecemasan dan depresi yang mungkin dialami orang yang bersangkutan, namun juga pada berbagai pilihan yang ada untuk mengubah tubuhnya.
ü Operasi Perubahan Kelamin.
Operasi perubahan kelamin adalah operasi yang mengubah alat kelamin yang ada agar lebih sama dengan kelamin lawan jenis. Studi terhadap hasil – hasil terapi yang pertama kali dilakukan dan paling controversial (Meyer & Reter, 1979) tidak menemukan manfaat apa pun bagi individu “dalam kaitan dengan rehabilitasi sosial”.
Program perubahan kelamin terus berjalan dibanyak seting kedokteran-psikologi. Di Amerika Serikat diperkirakan setiap tahunnya lebih dari 1000 transeksual menjalani operasi perubhan kelamin. Banyak transeksual memutuskan untuk tidak menjalani operasi setelah berakhirnya masa satu tahun yang diharuskan untuk hidup sebagai lawan jenis karena akhirnya mereka menyadari bahwa ketidakpuasan yang dirasakan terhadap hidup mereka tidak akan dapat diatasi dengan mengubah aspek – aspek eksternal jenis kelamin biologis.
ü Perubahan Identitas Gender
Mengubah identitas gender secar konsisten mengalami kegagalan. Identitas gender diasumsikan tertanam terlalu dalam untuk diubah. Identitas gender dapat diubah, namun, berbeda dengan orang lain yang mengalami GIG karena mereka bersedia berpartisipasi dalam program terapi yang bertujuan mengubah identitas gender.

1.2              Parafilia
Kata parafilia (paraphilia) diambil dari akar bahasa Yunani para, yang artinya “pada sisi lain”, dan philos yang artinya “mencintai”. Pada parafilia (paraphilias), orang menunjukkan keterangsangan seksual (mencintai) sebagai respon terhadap stimulus yang tidak biasa (“pada sisi lain” dari stimulus normal). Parafilia melibatkan dorongan dan fantasi seksual yang berulang dan kuat, yang bertahan selama 6 bulan atau lebih yang berpusat pada (1) objek bukan manusia seperti pakaian dalam, sepatu, kulit, atau sutra, (2) perasaan merendahkan atau menyakiti diri sendiri atau pasangannya, atau (3) anak-anak dan orang lain yang tidak dapat atau tidak mampu memberikan persetujuan.
Sejumlah penderita parafilia secara relatif tidak berbahaya dan tidak menyebabkan jatuh korban. Di antaranya terdapat fetishisme dan fetishisme transvestik. Sedangkan yang lain, seperti ekshibisionisme dan pedofilia, melibatkan orang lain sebagai korban. Parafilia yang paling berbahaya adalah sadisme seksual yang dilakukan dengan pasangan tanpa persetujuannya. Voyeurisme terletak di antaranya, karena “korban” tidak mengetahui kalo ia sedang diintip.
a.    Jenis-jenis dan gangguan parafilia
1.    Ekshibisionisme
Ekshibisionisme (exhibitionism) melibatkan dorongan kuat dan berulang untuk menunjukkan alat genital pada orang tak dikenal yang tidak menduganya, dengan tujuan agar korban terkejut, syok, atau terangsang secara seksual. Orang tersebut dapat bermasturbasi sambil membayangkan atau benar-benar menunjukkan alat genitalnya (hampir semua kasus terjadi pada pria). Sasaran/korbannya hampir selalu wanita.
Orang yang didiagnosis mengidap ekshibisionisme biasanya tidak tertarik pada kontak seksual aktual dengan korban dan karena itu biasanya tidak berbahaya. Namun begitu korban dapat merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya besar dan dapat mengalami trauma karena peristiwa itu. Saran yang paling baik untuk korban adalah untuk tidak menunjukkan reaksi apa pun pada orang yang mengekspos dirinya dan tetap bersikap biasa saja, jika memungkinkan.
2.    Fetishisme
Kata Prancis fethice diduga berasal dari bahasa Portugis feitico, yang berarti suatu “daya tarik ajaib”. Dalam kasus ini, “ajaib” terletak pada kemampuan objek untuk merangsang secara seksual. Ciri utama dari fetishisme (fetishism) adalah dorongan seksual yang kuat dan berulang serta membangkitkan fantasi yang melibatkan objek tidak hidup, seperti bagian tertentu dari pakaian (bra, celana dalam, stoking, sepatu boot, sepatu, kulit, sutra, dan sejenisnya). Pria dengan fetishisme lebih memilih objeknya daripada orang yang memilikinya dan tidak dapat terangsang tanpa objek tersebut. Mereka sering mengalami kepuasan seksual melalui masturbasi sambil membelai, menggosok-gosok, atau mencium objek tersebut; atau dengan melihat pasangan mereka menggunakan itu selama melakukan aktivitas seksual.
3.    Transvestik Fetishisme
Ciri utama dari transvestik fetishisme (transvestic fetishism) adalah dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi yang berhubungan yang melibatkan memakai pakaian lawan jenis (cross-dressing) dengan tujuan untuk mendapatkan rangsangan seksual. Orang dengan fetishisme dapat dipuaskan dengan memegang objek seperti pakaian dalam wanita sambil bermasturbasi; sedangkan orang dengan transvestik fetishisme ingin mengenakannya.
4.    Voyeurisme
Ciri utama dari voyeurisme (voyeurism) adalah bertindak berdasarkan atau mengalami distres akibat munculnya dorongan seksual yang kuat dan terus-menerus sehubungan dengan fantasi yang melibatkan melihat/memperhatikan orang, biasanya orang tak dikenal, yang sedang tidak berpakaian atau membuka pakaian atau sedang melakukan aktivitas seksual di mana mereka tidak menduganya. Tujuan melihat, atau “mengintip” adalah untuk mencapai kepuasan seksual. Orang yang melakukan voyeurisme biasanya tidak menginginkan aktivitas seksual dengan orang yang diobservasi.
5.    Froterisme
Kata Prancis frottage mengacu pada teknik artistik dari membuat gambar dengan cara menggosok pada objek yang timbul. Ciri utama dari parafilia frotorisme (frotteurism) adalah adanya dorongan seksual yang kuat secara persisten dan fantasi terkait yang melibatkan menggosok atau menyentuh tubuh orang tanpa izin. Froterisme atau “meremas” biasanya terjadi pada tempat-tempat ramai, seperti kereta api bawah tanah, bus, atau lift. Tindakan menggosok-gosokkan atau menyentuh, bukan aspek kekerasannya, yang membangkitkan hasrat seksual seorang pria. Ia mungkin membayangkan dirinya sendiri menikmati hubungan seksual yang eksklusif dan penuh kasih sayang dengan korban.
6.    Pedofilia
Pedofilia (pedophilia) diambil dari bahasa Yunani paidos, berarti “anak”. Ciri utama dari pedofilia adalah dorongan seksual yang kuat dan berulang serta adanya fantasi terkait yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak-anak yang belum puber (biasanya usia 13 tahun atau lebih muda). Penganiayaan seksual terhadap anak-anak bisa muncul dan bisa juga tidak. Untuk mendapatkan diagnosis pedofilia, orang tersebut harus berusia setidaknya 16 tahun, dan setidaknya 5 tahun lebih tua dari pada anak atau anak-anak yang mereka rasakan ketertarikan secara seksual atau yang menjadi korban. Pada beberapa kasus pedofilia, seseorang hanya tertarik pada anak-anak. Pada kasus lain, orang tersebut juga tertarik pada orang dewasa.
Penyebab pedofilia kompleks dan bervariasi. Sejumlah kasus cocok dengan stereotip orang yang lemah, pemalas, mempunyai hubungan sosial yang canggung, dan seorang penyendiri yang merasa terancam oleh hubungan dengan orang dewasa dan berkelok pada anak-anak untuk mendapat kepuasan seksual karena anak-anak tidak banyak mengkritik dan menuntut (Ames & Houston, 1990). Pada sejumlah kasus lain, bisa jadi pengalaman seksual masa kanak-kanak dengan anak-anak lain dirasa sangat menyenangkan sehingga pria tersebut, pada saat dewasa, berkeinginan untuk merasakan kembali kegembiraan masa lalu. Atau mungkin pada beberapa kasus pedofilia, pria yang teraniaya secara seksual oleh orang dewasa pada masa kanak-kanaknya sekarang bisa membalikkan situasi sebagai usaha untuk mendapatkan perasaan berkuasa.
7.    Masokisme Seksual
Masokisme seksual (sexual masochism), berasal dari nama seorang Novelis Austria, Leopold Ritter von Sacher-Masoch (1836-1895), yang menulis cerita dan novel tentang pria yang mencari kepuasan seksual dari wanita yang memberikan rasa nyeri/sakit pada dirinya, sering dalam bentuk flagellation (dipukul atau dicambuk). Masokisme seksual melibatkan dorongan kuat yang terus-menerus dan fantasi yang terkait dengan tindakan seksual yang melibatkan perasaan dipermalukan, diikat, dicambuk, atau dibuat menderita dalam bentuk lainnya. Dorongan itu dapat berupa tindakan yang menyebabkan atau didasari oleh distres personal.
Ekspresi masokisme yang paling berbahaya adalah hipoksifilia (hypoxyphilia), dimana partisipan merasa terangsang secara seksual dengan dikurangi konsumsi oksigennya—misalnya dengan menggunakan jerat, kantung plastik, bahan kimia, atau tekanan pada dada saat melakukan aktivitas seksual, seperti masturbasi. Pengurangan oksigen biasanya disertai dengan fantasi sesak napas atau dengan dibuat sesak napas oleh pasangan. Orang yang melakukan aktivitas ini biasanya menghentikannya sebelum mereka kehilangan kesadaran, tetapi terkadang kematian karena kehabisan napas juga terjadi akibat salah perhitungan (Blanchard & Hucker, 1991).
8.    Sadisme Seksual
Sadisme seksual (sexual sadism) dinamai berdasarkan nama Marquis de Sade, pria Prancis pada abad ke-18 yang terkenal, yang menulis cerita tentang kenikmatan mencapai kepuasan seksual dengan memberikan rasa sakit atau rasa malu pada orang lain. Sadisme seksual adalah sisi kebalikan dari masokisme seksual. Sadisme seksual melibatkan dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi terkait untuk melakukan suatu tindakan di mana seseorang dapat terangsang secara seksual dengan menyebabkan penderitaan fisik atau rasa malu kepada orang lain.
Banyak orang memiliki fantasi sadistik atau masokistik pada saat-saat tertentu atau melakukan permainan seks yang melibatkan simulasi atau bentuk ringan sadomasokisme (sadomasochism) dengan pasangan mereka. Sadomasokisme menggambarkan interaksi seksual yang secara mutual memuaskan yang melibatkan baik tindakan sadistik dan masokistik.
Parafilia Lainnya
Ada beberapa bentuk lain dari parafilia. Termasuk diantaranya melakukan panggilan telepon gelap (‘telephone scatologia’), nekrofilia (dorongan seksual atau fantasi yang melibatkan kontak seksual dengan mayat), partialisme (berfokus hanya pada satu bagian tubuh), zoofilia (dorongan seksual atau fantasi yang melibatkan kontak seksual dengan binatang), dan rangsangan seksual yang terkait dengan kotoran manusia (koprofilia), obat pencahar (klismafilia), dan urein (urofilia).
Perspektif Teoretis
Para teoretikus psikodinamika melihat banyak parafilia sebagai pertahanan terhadap kecemasan kastrasi yang tersisa dari periode Oedipal. Pikiran akan hilangnya penis di dalam vagina secara tidak sadar disamakan dengan kastrasi. Orang yang memiliki kelainan parafilia kemungkinan menghindar dari ancaman kecemasan katrasi ini dengan memindahkan rangsangan seksual pada aktivitas yang lebih aman—sebagai contoh, pakaian dalam, anak-anak, atau memperhatikan/menonton orang lain.
Para teoretikus belajar menjelaskan parafilia dalam kaitannya dengan conditioning dan observational learning. Sejumlah objek atau aktivitas secara tidak sengaja dihubungkan dengan rangsangan seksual. Objek atau aktivitas tersebut kemudian mendapatkan kapasitas untuk menimbulkan rangsangan seksual.
Seperti pola lain dalam perilaku abnormal, parafilia melibatkan faktor biologis, psikologis, dan sosiokultural yang beragam.
b.    Penanganan Parafilia
Orang dengan parafilia biasanya tidak mencari penanganan atas keinginan sendiri. Mereka biasanya menerima penanganan di penjara setelah mereka divonis melakukan penyerangan seksual. Atau mereka dirujuk ke sebuah penyedia penanganan oleh pengadilan. Penanganan dapat menjadi sia-sia jika klien kurang termotivasi untuk mengubah perilaku mereka.
Salah satu teknik behavioral yang digunakan untuk menangani parafilia adalah aversive conditioning. Tujuan dari penanganan ini adalah membangkitkan respons emosional negatif pada stimulus atau fantasi yang tidak tepat. Dalam teknik ini, stimulus yang membangkitkan rangsangan seksual (misalnya, celana dalam) dipasangkan berulang kali dengan stimulus aversif (misalnya, kejutan listrik) dengan harapan agar stimulus tersebut juga akan menjadi stimulus aversif. Keterbatasan mendasar dari aversive conditioning adalah hal ini tidak dapat membantu individu untuk mendapatkan perilaku yang lebih adaptif sebagai ganti dari pola respons maladaptif. Sensitisasi tertutup (covert sensitization) adalah variasi dari aversive conditioning di mana pemasangan stimulus aversif dengan perilaku bermasalah terjadi dalam imajinasi.
2.3     Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual (sexual dysfunctions) meliputi masalah dalam minat, rangsangan, atau respon seksual. Kasus disfungsi seksual tersebar dalam masyarakat, dialami oleh 43% wanita dan 31% pria menurut survei nasional AS terbaru, (Laumann, Paik, & Rosen, 1999). Ada beberapa tipe disfungsi seksual, tetapi semuanya cenderung memiliki sebuah ciri yang sama, seperti yang dijabarkan dalam tabel dibawah ini.

TABEL 1.1 Ciri-ciri Umum dari Disfungsi Seksual
Ciri
Deskripsi
Takut akan kegagalan
Ketakutan yang terkait dengan kegagalan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi atau kegagalan untuk mencapai orgasme.
Asumsi peran sebagai penonton dan bukan sebagai pelaku
Memonitor dan mengevaluasi reaksi tubuh saat melakukan hubungan seks.
Kurangnya self-esteem
Kurangin memikirkan kegagalan yang dihadapi untuk memenuhi standar normal.
Efek emosional
Rasa bersalah, rasa malu, frustasi, depresi, dan kecemasan.
Perilaku menghindar
Menghindari kontak seksual karena takut gagal untuk menampilkan performa yang adekuat; membuat berbagai macam alasan pada pasangan anda.
Sumber: Dari Nevid, Fichner-Rathus, & Rathus (1995), hlm. 445.

Tabel 1.2 menunjukkan angka perkiraan dari sejumlah tipe utama disfungsi seksual berdasarkan sampel masyarakat Amerika saat ini.
TABEL 1.2
Perkiraan Prevalensi Berbagai Disfungsi Seksual yang Ada (pesentase dari masalah yang dilaporkan responden)
Ejakulasi Dini
36-38
Disfungsi ereksi
4-9
Gangguan orgasme pria
4-10
Gangguan orgasme wanita
5-10
Sumber: Diadaptasi dari Spector, L.M., & Carey, M.P. (1990).
Incidence and prevalence of the sexual dysfunctions: A critical review of the empirical evidence. Archives of Sexual Behavior, 19, 389-408.




a.    Siklus Respons Seksual
Disfungsi seksual mempengaruhi permulaan atau penyelesaian siklus respons seksual. Sebagian besar pemahaman kita mengenai siklus respons seksual didasarkan pada hasil kerja William Masters dan Virginia Johnson yang merupakan perintis penelitian seks. Berdasarkan hasil kerja mereka dan beberapa orang lainnya, seperti terapis seks Helen Singer Kaplan, DSM menjabarkan siklus respons seksual dalam empat fase yang berbeda:
1.    Fase Keinginan. Fase ini melibatkan fantasi seksual dan hasrat untuk melakukan aktivitas seksual. Timbulnya fantasi dan hasrat seksual adalah normal; pertanyaannya adalah, “Seberapa besar (atau seberapa kecil) minat seksual yang dikatakan normal?”.
2.    Fase Perangsangan. Fase ini melibatkan perubahan fisik dan perasaan nikmat yang muncul saat proses rangsangan seksual. Dalam merespons stimulasi seksual, detak jantung, pernapasan, dan tekanan darah meningkat. Perangsangan seksual melibatkan dua refleks seksual yang penting—ereksi pada pria dan lubrikasi vagina (“basah”) pada wanita. Pada pria, ereksi terjadi ketika pembuluh darah dalam jaringan yang ada di dalam penis membesar untuk memungkinkan aliran darah yang meningkat memperbesar jaringan. Pada wanita, payudara akan membesar, puting susu akan berereksi. Darah memenuhi genital, menyebabkan klitoris membesar. Vagina melebar dan membesar, dan lubrikasi muncul karena pembesaran pembuluh darah di vagina mendorong cairan keluar melalui membran kapiler.
3.    Fase Orgasme. Baik pada pria dan wanita, tegangan seksual mencapai puncaknya dan dilepaskan melalui kontrajsu ritmik involunter dari otot pelvis disertai dengan perasaan nikmat. Orgasme seperti ereksi dan lubrikasi, adalah suatu refleks. Pada pria, kontraksi dari otot pelvis mendorong cairan mani untuk keluar melalui ujung penis pada saat ejakulasi. Pada wanita, otot pelvis yang mengelilingi lapisan luar ketiga dari vagina berkontraksi secara refleks. Pada pria dan wanita, kontraksi pertama adalah yang terkuat dan berjarak 0,8 detik interval (lima kontraksi dalam 4 detik). Kontraksi selanjutnya lebih lemah dan terjadi dalam rentang yang lebih lama.
4.    Fase Resolusi. Fase terjadinya relaksasi dan perasaan nyaman. Pada tahap ini, pria secara fisiologis tidak mampu mencapai ereksi dan orgasme untuk suatu periode waktu tertentu. Namun, wanita, mungkin mampu untuk mempertahankan rangsangan seksual pada tingkat yang tinggi jika stimulasi dilanjutkan, dan mengalami orgasme ganda dalam suatu rangkaian yang cepat.

b.    Jenis-jenis Disfungsi Seksual
DSM-IV mengelompokkan disfungsi seksual dalam kategori berikut ini: Tiga kategori yang pertama berhubungan dengan tiga fase pertama dari siklus respons seksual.
1.    Gangguan Hasrat Seksual
Gangguan hasrat seksual merupakan gangguan dalam nafsu seksual atau suatu keengganan terhadap aktivitas seksual genital. Orang dengan gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder) tidak atau kurang memiliki minat atau hasrat seksual. Biasanya terjadi karena kurangnya atau tidak adanya fantasi seksual. Klinisi, secara individual, harus mempertimbangkan berbagai faktor dalam membuat diagnosis pada kasus rendahnya hasrat seksual, seperti gaya hidup klien (sebagai contoh, pada orang tua yang dipenuhi dengan tuntutan anak-anak dan balita, kurangnya energi seksual atau minat seksual mungkin saja terjadi), faktor sosiokultural (sebagai contoh, sikap budaya yang tertutup dapat menahan hasrat atau minat seksual), kualitas hubungan antara klien dan pasangan mereka (penurunan minat atau aktivitas seksual dapat menunjukkan adanya masalah pada hubungan yang ada dan bukan hilangnya dorongan seks), dan usia klien (dengan adanya peningkatan usia, hasrat biasanya menurun tetapi tidak menghilang).
Orang dengan gangguan seksual aversi (sexual aversion disorder) memiliki keengganan yang kuat pada kontak seksual genital dan menghindari semua atau hampir semua kontak genital dengan pasangan. Namun mereka dapat memiliki hasrat dan menikmati kontak yang penuh kasih sayang atau kontak seksual nongenital
2.    Gangguan Rangsangan Seksual
Gangguan rangsangan seksual adalah ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan respons fisiologis yang terkait dengan rangsangan seksual—lubrikasi vagina pada wanita atau ereksi penis pada pria—yang dibutuhkan untuk menyelesaikan aktivitas seksual.
Pada wanita, rangsangan seksual ditandai oleh lubrikasi pada dinding vagina yang memungkinkan masuknya penis. Pada pria, rangsangan seksual ditandai oleh ereksi. Hampir semua wanita sering memiliki kesulitan untuk menjadi atau tetap terlubrikasi. Hampir semua pria terkadang memiliki kesulitan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi selama berhubungan. Diagnosis gangguan rangsangan seksual wanita (female sexual arousal disorder) dan gangguan ereksi pria (male erectile disorder) (juga disebut impotensi seksual atau disfungsi ereksi) diberikan bila terdapat masalah yang terus ada dan berulang untuk dapat terangsang secara genital.
3.    Gangguan Orgasme
Orgasme atau klimaks seksual adalah suatu refleks involunter yang menghasilkan kontraksi ritmik dari otot pelvis dan biasanya disertai dengan perasaan nikmat yang kuat. Pada pria, kontraksi ini disertai dengan keluarnya cairan mani. Ada 3 jenis spesifik dari gangguan orgasme: gangguan orgasme wanita (female orgasmic disorder), gangguan orgasme pria (male orgasmic disorder), dan ejakulasi dini (premature ejaculation).
4.    Gangguan Nyeri Seksual
Pada dispareunia (dyspareunia), hubungan seksual dihubungkan dengan rasa sakit/nyeri yang berulang pada daerah genital. Rasa sakit tersebut tidak dapat dijelaskan dengan penuh secara medis dan karena itu diyakini memiliki komponen psikologis. Namun, banyak, bahkan mungkin hampir semua, kasus nyeri saat berhubungan seksual dapat dilacak pada kondisi medis yang mendasari, seperti kurangnya lubrikasi atau infeksi saluran urin.
Vaginismus melibatkan kejang involunter pada otot di sekitar vagina ketika terjadi penetrasi vaginal, sehingga membuat hubungan seksual terasa menyakitkan atau tidak memungkinkan.
c.    Perspektif Teoretis
Seperti kebanyakan gangguan psikologis, disfungsi seksual merefleksikan interaksi dari faktor-faktor biologis, psikologis, dan lainnya.
Perspektif Biologis Banyak kasus disfungsi seksual berasal dari faktor biologis atau dari kombinasi faktor biologis dan psikologis (Carey, Wincze & Meisler, 1998). Kurangnya produksi testosteron dan aktivitas tiroid yang berlebihan atau di bawah standar adalah salah satu di antara banyak kondisi biologis yang dapat menyebabkan hendaya hasrat seksual (Kresin, 1993). Kondisi medis juga dapat mengganggu keterangsangan seksual pada pria dan wanita.
Faktor biologis dapat memainkan peran yang penting pada kurang lebih 70% sampai 80% kasus disfungsi ereksi (Brody, 1995b). Faktor biologis lainnya dapat menggangu hasrat, keterangsangan seksual, dan orgasme meliputi kondisi saraf yang rusak seperti multiple sclerosis; gangguan paru-paru; gangguan ginjal; masalah pernapasan, kerusakan yang disebabkan karena penyakit menular seksual; dan efek samping dari berbagai obat-obatan (Brondy, 1995b; Segraves, 1998; Spark, 1991).
Perspektif Psikodinamika Hipotesis psikodinamika secara umum mempertimbangkan dugaan adanya konflik pada tahap phallic (Fenichel, 1945). Seksualitas genital yang matang dipercaya membutuhkan penyelesaian total dari Oedipus complex dan Electra complex. Pria dengan disfungsi seksual diduga secara tidak sadar menderita kecemasan akan kastrasi.
Pada wanita, penis envy yang tidak terselesaikan menghasilkan rasa permusuhan terhadap pria. Wanita yang tetap terfiksasi pada tahap phallic, menghukum pasangannya karena memiliki penis yang tidak membiarkan organ tersebut untuk memberikan kenikmatan padanya, yang disebut dengan gangguan rangsangan seksual wanita.
Perspektif Belajar Teoretikus belajar memusatkan perhatian pada peran kecemasan terkondisi dalam perkembangan disfungsi seksual. Terdapatnya pengalaman fisik atau psikologis yang menyakitkan yang dihubungkan dengan aktivitas seksual dapat menyebabkan seseorang merespons hubungan seksual dengan kecemasan yang cukup kuat yang dapat mencegah kenikmatan dan performa seksual.
Pemenuhan seksual juga didasarkan pada belajar keterampilan seksual. Keterampilan atau kompetensi seksual, seperti jenis keterampilan lainnya, didapat melalui kesempatan untuk belajar hal baru. Kita belajar mengenai bagaimana tubuh kita dan pasangan kita berespons secara seksual dalam berbagai cara, termasuk coba-coba (trial and error) dengan pasangan kita, dengan belajar tentang respons seksual kita melalui self-exploration (seperti dalam masturbasi), dengan membaca tentang teknik seks, dan mungkin dengan berbicara pada orang lain atau menonton film atau rekaman seks
Perspektif Kognitif Albert Ellis (1977b) menekankan bahwa kepercayaan dan sikap yang irasional dapat memberikan kontribusi pada disfungsi seksual. Pertimbangan kepercayaan irasional bahwa setiap saat kita harus mendapat persetujuan dari setiap orang yang penting bagi kita dan bahwa kita harus benar-benar kompeten dalam setiap hal yang kita lakukan. Jika kita tidak dapat menerima kekecewaan orang lain, kita dapat membesar-besarkan signifikansi dari satu episode frustasi seksual. Jika kita memaksakan bahwa setiap pengalaman seksual harus sempurna, kita membuat tahapan untuk menjadi gagal secara tak terelakkan.
Sebagian besar pria memberikan respons pada rangsangan seksual dengan emosi positiff, seperti rasa senang dan hangat. Tetapi bagi pria yang disfungsi seksual, rangsangan seksual tidak lagi berhubungan dengan emosi positif (Rowland, Cooper, & Slob, 1996). Psikolog David Barlow (1986) mengatakan bahwa kecemasan dapat berpengaruh dalam mengurangi atau meningkatkan respons seksual tergantung pada proses berpikir seseorang (lihar gambar 1.1).
Fungsional
(Putaran Umpan Balik Positif)
Disfungsional
(Putaran Umpan Balik Negatif)
Tuntutan Eksplisit atau Implisit untuk Performa Seksual
(Misalnya: Pasangan Responsif atau Konteks Lainnya) Menghasilkan Performa Sesuai Harapan Publik (Ereksi)

Afek dan Harapan Positif, Respons Ereksi yang Akurat, Persepsi terhadap Kontrol

Afek dan Harapan Negatif, Respons Ereksi yang Tidak Akurat dan Tidak Penuh, Kurangnya Kontrol yang Dipersepsikan

Fokus Perhatian pada Tanda-tanda Erotis

Fokus Perhatian pada Konsekuensi Publik Jika Tidak Berperforma dengan baik atau Isu Non-Erotis Lainnya

Peningkatan Rangsangan Otonomik

Peningkatan Rangsangan Otonomik

Peningkatan Fokus Perhatian pada Tanda-tanda Erotis

Peningkatan Fokus Perhatian pada Konsekuensi Tidak Berperforma dengan Baik (dll.)

Performa Fungsional

Performa Disfungsional

MENDEKATI

MENGHINDAR





GAMBAR 1.1 Model Barlow tentang Disfungsi Ereksi.
Pada model ini, pengalaman masa lalu dengan disfungsi ereksi menyebabkan pria menduga bahwa mereka akan gagal lagi. Akibatnya mereka berfokus pada pengantisipasi rasa malu ketika terlibat dalam hubungan seksual dan bukan berfokus pada stimulus erotis. Hal ini membuat kecemasan mereka meningkat, merusak performa mereka dan mengalihkan perhatian mereka dari tanda-tanda erotis. Pria yang berfungsi dengan baik, sebaliknya, berharap untuk berhasil dan lebih memfokuskan perhatian mereka pada stimulus erotis, yang meningkatkan respons seksual mereka. Meskipun mereka juga mengalami kecemasan, hal itu tidak cukup parah untuk dapat mengalihkan perhatian mereka dari tanda-tanda erotis atau merusak performa mereka.
Sumber. Barlow D. H. (1986). Causes of sexual dysfunction: The role of anxiety and cognitive interference. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 54,hal. 146. Copyright@2001 oleh the American Psychiatric Association.
Berbagai Masalah dalam Hubungan Seperti pepatah mengatakan, “It takes two to tango”. Hubungan seksual biasanya tidak lebih baik daripada hal-hal lain dalam sebuah hubungan atau perkawinan (Perlman & Abramson, 1982). Pasangan yang saling membenci dapat memilih arena seksual untuk berperang. Masalah komunikasi, lebih jauh lagi, berhubung dengan ketidakpuasan perkawinan. Pasangan yang menemukan kesulitan untuk mengomunikasikan hasrat seksual mereka akan kehilangan cara dalam membantu pasangan mereka untuk menjadi pasangan bercinta yang lebih efektif.
Perspektif Sosiokultural Di sekitar pergantian abad ke-20, seorang wanita Inggris mengatakan akan “menutup mata dan memikirkan negaranya” ketika suaminya mendekatinya untuk berhubungan seksual. Stereotip zaman dulu ini menyiratkan bahwa kepuasan seksual dianggap secara eksklusif hanya milik pria—bahwa seks, untuk wanita, hanyalah kewajiban. Wanita yang memiliki sikap stereotip seperti itu terhadap seksualitas wanita cenderung tidak menyadari potensi seksual mereka. Sebagai tambahan, kecemasan seksual dapat merubah pikiran negatif menjadi self-fulfulling prophecies. Disfungsi seksual pada pria juga, dapat dihubungkan dengan kepercayaan sosiokultural yang sangat terbatas dan hal-hal tabu yang terkait dengan seks.
Teoretikus psikodinamika modern menyadari bahwa kemarahan dan perasaan-perasaan negatif lainnya yang dimiliki wanita terhadap pria dapat menyebabkan disfungsi seksual. Namun, mereka juga percaya bahwa emosi negatif ini berakar dari faktor-faktor sosiokultural dan bukan penis envy.
Faktor Psikologis Berbagai faktor psikologis seperti depresi, kecemasan, rasa bersalah, dan rendahnya self-esteem dapat mengganggu hasrat atau performa seksual. Satu penyebab yang penting adalah kecemasan akan performa (performance anxiety), suatu jenis kecemasan yang melibatkan perhatian yang berlebihan tentang apakah kita akan mampu untuk memberikan performa yang baik.
Dengan fokus yang berlebihan pada mempertahankan self-esteem setiap saat akan bercinta, tidak heran jika kecemasan akan kualitas performanya—kecemasan akan performa—meningkat sampai pada titik yang dapat menghambat ereksi. Refleks ereksi dikontrol oleh cabang parasimpatis dari sitem saraf otonom. Aktivasi dari sistem saraf simpatis, yang terjadi ketika kita cemas, dapat menghambat kontrol parasimpatis dan mencegah refleks untuk ereksi. Ejakulasi, sebaliknya, berada di bawah kontrol sistem saraf simpatis, sehingga peningkatan rangsangan, seperti dalam kasus kecemasan akan performa, dapat memicu ejakulasi dini.
Wanita juga dapat menyamakan self-esteem mereka dengan kemampuan untuk mencapai orgasme yang sering dan intensif. Akan tetapi, ketika pria dan wanita berusaha keras untuk memperoleh rangsangan atau lubrikasi, atau memaksakan orgasme, mereka akan menemukan bahwa semakin keras mereka berusaha, semakin sulit untuk mencapai respons ini.
2.4     Terapi Seks
Bentuk terapi psikoanalisis menggunakan pendekatan tidak langsung terhadap disfungsi seksual. Diasumsikan bahwa disfungsi seksual mencerminkan konflik yang mendasari, dan disfungsi dapat teratasi jika konflik yang mendasari—perkiraan penyebab dari disfungsi—dipecahkan melalui psikoanalisis. Kurangnya bukti bahwa pendekatan psikoanalisi dapat mengatasi disfungsi seksual menyebabkan pada klinisi dan peneliti mengembangkan pendekatan lain yang lebih memfokuskan secara langsung pada masalah seksual itu sendiri.
Terapis seks kontemporer mengasumsikan bahwa disfungsi seksual dapat ditangani dengan secara langsung memodifikasi interaksi seksual pasangan dan pola-pola komunikasi.
Gangguan Hasrat Seksual Terapi seks mencoba membantu seseorang dengan hasrat seksual yang rendah untuk membangkitkan minat seksualnya melalui penggunaan latihan self-stimulation (masturbasi) bersamaan dengan fantasi erotik. Ketika kurangnya hasrat seksual dihubungkan dengan depresi, penanganan dapat difokuskan pada mengatasi depresi yang mendasarinya dengan harapan bahwa minat seksual dapat kembali ketika tekanan itu hilang. Ketika masalah rendahnya hasrat seksual atau aversi seksual muncul dan mengakar pada penyebab yang mendalam, terapis seks Helen Singer Kaplan (1987) merekomendasikan penggunaan pendekatan insight-oriented untuk membantu mengungkapkan dan menyelaraskan isu yang mendasari.
Gangguan Rangsangan Wanita yang memiliki kesulitan untuk terangsang secara seksual dan pria dengan masalah ereksi, pertama-tama diberi pendidikan mengenaik fakta bahwa mereka tidak harus “melakukan” sesuatu untuk menjadi terangsang. Sejauh masalah mereka bersifat psikologis, bukan organis, mereka hanya perlu mengalami stimulasi seksual dalam kondisi rileks, dan tidak tertekan, sehingga kognisi-kognisi yang mengganggu dan kecemasan tidak menghambat respons refleksif.
Terapis seks William Masters dan Virginia Johnson meminta pasangan mengatasi kecemasan akan performa dengan melakukan latihan berfokus pada sensasi (sensate focus exercises), yaitu kontak seksual yang tanpa tuntutan—latihan berkala yang tidak menuntut munculnya rangsangan seksual dalam bentuk lubrikasi vagina atau ereksi.
Gangguan Orgasme Wanita dengan gangguan orgasme sering memiliki kepercayaan yang medasar bahwa seks adalah suatu hal yang kotor atau penuh dosa. Mereka mungkin diajari untuk tidak menyentuh diri mereka sendiri. Mereka sering kali cemas tentang seks dan belum pernah mempelajari, melalui proses coba-coba, jenis stimulasi seksual apa yang dapat merangsang mereka dan membantu mereka mencapai orgasme. Penanganan pada kasus semacam ini meliputi modifikasi dari sikap negatif terhadap seks. Ketika gangguan orgasme merefleksikan perasaan atau hubungan wanita dengan pasangannya, penanganan perlu dilakukan untuk mengatasi perasaan ini atau memperbaiki hubungan.
Pendekatan yang paling banyak digunakan untuk menangani ejakulasi dini, disebut dengan teknik stop-start atau stop-and-go, diperkenalkan pada tahun 1956 oleg urolog James Semans. Pria dan pasangannya menunda aktivitas seksual di saat ia hampir berejakulasi dan kemudian memulai kembali stimulasi ketika sensasinya berkurang. Latihan yang berulang memungkinkan dirinya untuk mengatur ejakulasi dengan membuat ia sensitif terhadap petunjuk yang mendahului refleks ejakulasinya (membuat ia lebih sadar akan “point of no return”, titik di mana refleks ejakulasi dipicu).
Vaginismus dan Dispareunia Vaginismus adalah refleks terkondisi yang menyebabkan penyempitan tak sadar pada bagian mulut vagina. Hal itu dikarenakan ketakutan secara psikologis akan terjadinya penetrasi, dan bukan suatu kerusakan atau gangguan fisik (LoPiccolo & Strock, 1986). Penanganan untuk vaginismus meliputi kombinasi teknik relaksasi dan penggunaan pembesar vagina untuk secara bertahap mendesensitisasi otot vagina.
Evaluasi terhadap Terapi Seks Angka keberhasilan untuk terapi seks lebih baik pada beberapa gangguan dibanding pada gangguan lain. Tingkat kesuksesan yang tinggi dilaporkan dalam penanganan vaginismus pada wanita dan ejakulasi dini pada pria (J.G. Beck, 1993; O’Donohue, Letourneau, & Geer, 1993). Tingkat kesuksesan yang dilaporkan dalam menangani vaginismus berkisar antara 80% (Hawton & Catalan, 1990) sampai 100% (Masters & Johnson, 1970). Angka kesuksesan dalam menangani ejakulasi dini dengan prosedur stop-start dilaporkan hingga setinggi 95%, tetapi angka kambuhnya cenderung tinggi juga (Segraves & Althof, 1998). Angka keberhasilan dalam menangani disfungsi ereksi dengan teknik terapi seks lebih bervariasi (Rosen, 1996), dan kita masih kekurangan penelitian yang bersifat metodologis untuk mendukung keefektifan teknik ini (O’Donohue dkk., 1999). Hasil penanganan untuk gangguan orgasme pria juga bervariasi dan sering mengecewakan (Dekker, 1993).


2.5         Penanganan Biologis untuk Disfungsi Seksual Pria
Penanganan biologis terhadap gangguan ereksi meliputi begitu banyak teknik, tetapi sekarang ini lebih dipusatkan pada penggunaan obat-obatan, baik untuk membangkitkan ereksi atau menunda ejakulasi. Contoh yang paling dikenal luas adalah Viagra, obat yang dapat memperluas aliran darah di penis, yang memiliki efek peningkatan aliran darah ke penis yang dapat menyebabkannya menjadi ereksi (Goldstein dkk., 1998; Kolata, 1998). Diminum sekitar 1 jam sebelum berhubungan seksual, obat tersebut telah membantu 70% sampai 80% pasien dengan disfungsi ereksi untuk mencapai ereksi. Viagra adalah obat baru dengan penjualan tercepat dalam sejarahm segera setelah peluncurannya. Sayangnya, Viagra telah gagal untuk membantu wanita dengan disfungsi seksual (“Viafra Fails to Help Women,” 2000).
Penanganan hormon dapat membatu pria yang tingkat hormon seks prianya rendah secara abnormal tetapi tidak pada mereka yang tingkat hormonnya berada dalam batas normal (Spark, 1991). Karena dapat memiliki efek samping, seperti kerusakan hati, penanganan hormon seharusnya tidak dilakukan tanpa ada pengawasan ketat.
Pembedahan vaskular dapat efektif pada kasus yang jarang, di mana tersumbatnya aliran darah mencegah darah untuk membesarkan penis atau di mana penis memiliki kerusakan secara struktural (LoPiccolo & Strock, 1986).

BAB III
PENUTUP
3.1     Kesimpulan
Kesehatan seksual yaitu pencegahan penyakit menular seksual dan kehamilan yang tidak di inginkan, kenikmatan seks. Sebagai bagian dari hubungan intim dan kendali yang lebih besar terhadap keputusan seksual seseorang.
Seksualitas abnormal yaitu perilaku seksual yang destruktif bagi diri sendiri maupun oranglain, yang tidak dapat di arahkan kepada seseorang pasangan, yang diluar stimulasi organ seks primer, dan yang di sertai dengan rasa bersalah dan kecemasan yang tidak sesuai, atau konfulsif. 
Parafilia secara harfiah ‘para’ artinya penyimpangan ‘filia’ artinya objek atau situasi yang disukai. Parafilia adalah dorongan seksual yang mendalam dan berulang yang menimbulkan fantasi seksual yang fokuskan pada objek yang bukan pada manusia saja, penderita atau penghinaan diri sendiri atau partner nya, atau anak-anak atau orang-orang yang tidak mengizinkan
Jenis-jenis dan gangguan parafilia : Pedofilia, Exibionisme, Voyeurisme, Sadomasokis, Masokhisme, Fetisisme, Transvestisme, Zofilia, Froterisme, Homoseksual. 
DISFUNGSI SEKSUAL (DSM IV)
a.    Gangguan keinginan seksual yaitu kurangnya atau tidak adanya keinginan untuk melakukan hubungan seks
b.    Gangguan hasrat seksual ditandai oleh defisiensi atau tidak adanya fantasi seksual dan hasrat untuk aktivitas seksual.
c.    Orgasme terhambat (Inhibited Orgasm)
d.   Ejakulasi dini (premature ejaculation)
e.    Dispareunia (Dyspareunia)


DAFTAR PUSTAKA

Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., & Greene, Baverly (2003). Psikologi Abnormal/Edisi Kelima/Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sulistianngsih, Sulis. Psikologi Abnormal Dan Psikofatologi..
Vina, Ashra dan Mohanraj, Andrew. 2001. Ketika Tidak Ada Psikiater. London: The Royal College Psikitrists.
Kaplan, Harold dan Sadock, Benjamin. 1994. Sinopsis Psikiatri Jilid 2. New York: New York University Medical Center. 
Martaniah, Sri Mulyani. 2001. Psikologi Abnormal Dan Psikopatologi. Yogyakarta.
Walker, Kenneth. 2005. The Handbook Sex. Yogyakarta. Diva Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar